Selasa, 28 April 2009

kisah teladan

Tuan Rumah yang Menyambut Kedatangan Rasulullah di Madinah

....esungguhnya, betapa mulia catatan sejarah hidupnya. Terpancarlah keutamaan di atas rumah Khalid Ibn Sa’id yang dijuluki sebagai Abu Ayyub itu. Unta Nabi SAW duduk berhenti di hadapan rumahnya. Hal ini membuat semua orang mengarahkan pandangan mata kepadanya. Bukan saja orang Ansar, tetapi seluruh penduduk Madinah. Kehormatan semacam itu amat diharapkan oleh setiap orang Ansar yang dilaluinya.

Mereka berdiri di depan rumahnya masing-masing selama beberapa saat, menunggu lalunya Rasulullah SAW. Mereka semua ingin mengajak baginda agar mahu berkunjung ke rumahnya. Namun setiap kali Nabi SAW lalu di hadapan rumah kaum Ansar, tuan rumahnya berdiri di hadapan unta Nabi sambil memegangi kekangnya seraya berkata kepada Nabi SAW: “Ya Rasulullah, singgahlah sejenak ke rumah kami. Sedemikian jauh Rasulullah menolaknya, baginda berkata sambil memberi isyarat kepada untanya: “Biarkan ia meneruskan perjalanannya. Sebenarnya ia telah diperintahkan demikian.”

Sampai Rasulullah tiba di salah satu rumah bapa saudara baignda (dari pihak ibu), ia menjawab dengan ungkapan seperti di atas saat mereka berusaha menghentikan kekang untanya. Setelah orang-orang melepaskan kendali unta agar boleh melanjutkan perjalanan sendiri, dan Rasulullah SAW juga begitu, unta tadi berjalan sambil melihat ke kanan dan ke kiri. Akhirnya sampailah ia ke rumah Malik Ibn Al-Najjar. Unta tadi berhenti sebentar lalu berdiri dan berjalan lagi beberapa langkah, lantas untuk yang kedua kalinya berhenti di depan rumah Abu Ayyub Al-Ansari, lekuk lehernya menempel di tanah dan mengeluarkan suara tanpa membuka mulutnya.

Nampak sikap kaum Ansar iri terhadap Abu Ayyub yang membawa tali kekang unta Rasulullah, masuk ke rumahnya yang tersusun dua tingkat. Abu Ayyub berserta keluarganya pindah ke lantai atas, sedang Rasulullah SAW di lantai bawah. Hal ini dilakukannya kerana khuatir menyusahkan Rasulullah SAW, sebab ia bemaksud menghindarkan beratnya naik-turun tangga.

Rasulullah SAW terus tinggal di rumah Abu Ayyub Al-Ansari selama 7 bulan. Selama itu Abu Ayyub membuatkan makanan Nabi dan menghantarkan kepadanya. Ia selalu menunggu selesainya Nabi makan, kemudian ia dan isterinya memakan sisa makanan baginda SAW kerana mengharapkan berkah darinya.

Suatu petang Abu Ayyub menghantar makanannya kepada Nabi. Makanan tersebut mengandungi bawang merah dan bawang putih. Ternyata Rasulullah tidak memakannya sedikit pun. Ketika Abu Ayyub melihat makanan tersebut tidak berkurang sedikit pun, ia segera turun menjumpai Rasulullah SAW seraya berkata: “Ya Rasulullah, demi ayah dan ibumu, aku tidak melihat bekas tanganmu dari makanan malam yang aku sediakan kepadamu.

Padahal jika engkau makan makanan itu, kami selalu makan makanan sisamu demi mengharapkan berkah darimu.” Jawab Nabi: “Aku jumpai dalam makanan itu sejenis tumbuh-tumbuhan (bawang merah dan bawang putih), padahal Jibril memberitahukan hal itu agar aku hindari. Adapun bagimu, maka boleh engkau memakannya.” Selanjutnya Abu Ayyub berkata: “Makanan itu lalu kami makan, kemudian kami tidak pernah membuatkan makanan kepada Nabi yang mengandung bawang merah dan bawang putih.”

Setelah agak lama Rasulullah SAW menggunakan waktunya untuk tinggal di rumah Abu Ayyub Al-Ansari, ia memutuskan untuk membangun masjid dan membangun beberapa rumah bagi para umahat al-muslimin di sekitarnya. Seluruh kaum muslimin ikut membantu bekerja membangun masjid tersebut. Setelah selesai, Rasulullah SAW pindah ke tempatnya yang baru di sekitar masjid.

Berbagai peristiwa berlalu begitu cepat, sedang kaum Quraisy berupaya terlibat dalam peperangan dengan kaum muslimin. Sekarang kaum muslimin makin siap berjuang menghadapi kaum musyrik dan kafir, sehingga kalimat Allah mencapai kedudukan yang tinggi dan kalimat orang-orang kafir menjadi rendah.

Peperangan terjadi silih berganti. Abu Ayyub ikut serta dalam pertempuran tersebut, tidak ketinggalan satu peperangan pun. Ia tidak pernah tinggal diam dalam berjuang fi sabilillah. Bahkan ia berjuang bersama Rasulullah SAW sebagaimana jihadnya orang yang mencari mati syahid. Ia tidak takut mati. Jihadnya penuh semangat untuk berjumpa kepada Allah.

Di samping Abu Ayyub merupakan pahlawan perang di masa Rasulullah SAW, ia juga seorang pejuang di masa Khulafaur Rasyidin. Ia ikut dalam perang melawan orang-orang murtad, membunuh para musuh Allah dan musuh agama Islam. Ia hidup membela kehormatan Islam. Dalam tiap peristiwa pertempuran ia selalu maju ke barisan depan.

Ketika muncul fitnah antara Saidina Ali ra. dan Muawiyah Ibn Abi Sufyan, Abu Ayyub tanpa ragu-ragu bergabung dalam barisan Ali. Sebab ia tahu bahawa Ali ada di pihak yang benar. Dengan perbuatannya itu, Abu Ayyub berjuang di pihak Ali karramallahu wajhahu, sampai Ali ra. mati syahid.

Abu Ayyub tetap ikut berjuang, tidak ketinggalan ikut bertempur bersama kaum muslimin lainnya sampai terjadi perang Konstantinopel. Ia menerjang barisan musuh hingga badannya penuh luka pedang dan merasakan bahawa ajalnya telah dekat. Ia berkata kepada orang-orang di sekitarnya: “Aku ingin jasadku dikubur di tengah medan pertempuran atau yang dekat dengannya, sehingga rohku bergerak di atas medan tempur, dan di akhirat nanti aku mendengar derap kaki kuda dan gemerincingnya pedang.”

Ia menginginkan kehidupan akhiratnya dalam keadaan berjihad sebagaimana semasa hidupnya di dunia. Pada saat keadaannya sudah kritikal. ia merasa sakit akibat luka. Ia masih bersemangat untuk mengibarkan bendera Islam dan mengharap agar memperoleh kemenangan.

Setelah ia meninggal dunia, kaum muslimin melaksanakan kehendaknya. Mereka menguburnya di dekat medan pertempuran agar jiwanya sentiasa dapat menghirup bau jihad dan bersenang-senang di alam akhirat kerana memperoleh pertolongan Allah.

^ Kembali ke atas ^



Kekasih Putera Kekasih

Umurnya mencapai 20 tahun ketika Rasulullah SAW memilihnya untuk menjadi komander pasukan yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Ansar. Siapa gerangan pemuda yang memperoleh kepercayaan dari Nabi SAW sehingga baginda menempatkannya pada jabatan yang besar, menyandarkan kepadanya tugas besar dan memuliakannya ini?
Ayah pemuda itu tak lain adalah Zaid Ibn Haritsah, salah seorang sahabat Nabi, yang juga salah satu kecintaan baginda SAW. Rasulullah SAW mendidik Usamah sejak kecil, dan mencintainya sebagaimana ia mencintai dan mengasihi Hasan, Husein dan Fatimah Az-Zahra.

Baginda memberi gelaran kepadanya sebagai “Kekasih putera kekasih.”

Gelaran itu mencerminkan penghargaan Nabi kepadanya, bahkan merupakan pelimpahan emosi kenabian yang diletakkan kepada emosi manusiawi, sehingga mampu mengangkat darjat Usamah dan ayahnya ke peringkat orang-orang yang dikasihi dan dicintai oleh Rasulullah SAW

Sebenarnya Usamah patut sekali memperoleh julukan tersebut. Sejak, dari masa kanak-kanaknya ia telah mereguk cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan cinta kepada Islam. Ia amat dekat dengan Nabi seperti halnya Hasan dan Husein. Ia makan bersama Nabi dan menyaksikan pergaulannya yang baik bersama keluarga dan pembantunya. Ia menyaksikan akhlak Nabi dan perilakunya yang baik serta mulia dan teladan yang tinggi.

Pada masa muda belia, ia berangan-angan untuk menyandang senjata dan berjuang bersama orang-orang yang berjihad sebagaimana halnya beliau menolak anak-anak yang sebaya dengannya untuk terjun ke medan perang melawan orang-orang musyrikin.

Ketika Usamah mencapai usia dewasa, mampu menyandang senjata, Rasulullah SAW membolehkan ia bergabung dengan barisan para pejuang. Dengan demikian ia berusaha membuktikan angan-angannya yang diinginkan sejak kecilnya. Hal ini sebagai ujian berat baginya untuk mempersiapkan dirinya untuk memperoleh darjat yang tinggi.

Hal itu terjadi tidak berapa lama setelah penaklukan Makkah. Kaum musyrikin masih menghendaki kemenangan atas Nabi dan kaum muslimin. Nabi mengetahui hal yang penyebab perkara ini. Baginda mengumpulkan ribuan pejuang dan pasukan panah di Hunain, sehingga memenuhi lembah dan perbukitan Hunain.

Kaum muslimin tidak menyangka akan kalah, sebab jumlah dan perlengkapannya amat besar. Tapi Allah menghendaki agar mereka tahu tentang hakikat agama dan mutiara akidahnya sehingga mereka tahu bahawa hanya Allahlah yang berhak menentukan kemenangan. Menjelang fajar kaum muslimin masuk ke daerah Hunain, dan kaum musyrikin menyerang secara mendadak dengan panah dan tombak sehingga menjadikan kaum muslimin terdesak mundur kerana terkejut.

Sedangkan Nabi masih diam di tempat seraya berseru: “Hai orang-orang, mahu kemana? Sungguh saya adalah Nabi, cucu Abd Al-Muthalib.” Beberapa orang di sekitarnya masih tetap bertahan. Di antara mereka ada Usamah Ibn Zaid. Orang-orang tersebut tetap teguh di sekitar Nabi sehingga pengaruh serangan mendadak tadi hilang dalam jiwa kaum muslimin. Mereka kembali ke medan perang melawan kaum musyrikin sehingga sebahagian terbunuh dan sebahagian tertawan.

Pertempuran Hunain ini meninggalkan kesan yang menarik bagi diri Rasulullah SAW. Orang-orang yang berdiri di sekitarnya pada saat-saat sulit merupakan orang-orang yang teguh iman dan keberaniannya. Tidak hairan apabila Nabi SAW memilih Usamah sebagai komandan pasukan yang dipersiapkannya untuk menghadapi tentera Rom. Hal itu terjadi setelah diketahui pengorbanan, keteguhan perjuangan dan tekadnya yang mantap.

Terpilihnya Usamah sebagai komandan pasukan ternyata tidak mamuaskan sebahagian kaum Muhajirin dan Ansar. Mereka saling berkata: “Mengapa Nabi SAW memilih pemuda ini, bukankah kita memiliki tokoh-tokoh tua yang berpengetahuan dan berpengalaman dalam masalah perang?”

Lalu perbincangan tersebut sampai kepengetahuan Nabi. Saat itu baginda sedang sakit. Baginda mengambil air untuk mendinginkan badannya lalu keluar seraya berucap di hadapan mereka: “Sebahagian orang meremehkan kepemimpinan Usamah Ibn Zaid. Sebelumnya mereka juga telah meremehkan kepemimpinan ayahnya, meskipun ayahnya waktu itu layak memegang tampuk pimpinan.

Demikian pula dengan Usamah. Usamah termasuk orang yang aku cintai setelah ayahnya. Aku mengharapkan agar ia menjadi orang yang baik di antara kamu. Kerananya berbuat baiklah kepadanya.”
Lalu Nabi berpesan kepada para sahabat agar mereka mem-berangkatkan pasukan Usamah. Namun tentera muslimin masih tertunda beberapa hari di Al-Jarf (suatu tempat di dekat Madinah). Sementara itu penyakit yang dideritai Rasulullah kian berat. Tidak berapa lama setelah itu baginda wafat.

Setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah, langkah pertama yang langsung ia kerjakan adalah mengangkat Usamah sebagai pasukan kaum muslimin. Segera saja pasukan tersebut menuju ke perbatasan Syam. Di perbatasan itu kaum muslimin menaklukkan salah satu perkampungan Rom. Hal ini menimbulkan ketakutan bagi penduduk Rom lainnya. Kemudian pasukan yang dipimpin oleh Usamah kembali tanpa kehilangan seorang tentera pun. Seluruh penduduk Madinah menyambutnya dengan meriah.

Setelah itu Usamah hidup tekun beribadah, puasa di siang hari dan solat sunah di malam hari sampai menjelang wafatnya pada tahun 54 H. Ia meninggal sebagai orang yang suci dan soleh.

^ Kembali ke atas ^



Pedagang Yang Zuhud

Abu Darda’ memiliki harta amat banyak yang ia kembangkan dengan cara berdagang. Kerana kejujuran dan amanahnya, ia dipercaya oleh penduduk Makkah. Mereka membeli segala keperluannya kepada Abu Darda’ sebab mereka yakin bahawa ia bukanlah penipu. Abu Darda’ menjual barang-barang yang masih baik dan istimewa kepada mereka dengan harga yang menarik.

Suatu hari hati dan fikirannya terbuka untuk menerima Islam. Ia pergi menjumpai Rasulullah SAW, di hadapan baginda ia masuk Islam. Setelah itu ia mengetahui bahawa ada sesuatu perdagangan yang tidak akan rugi, iaitu perniagaan dengan modal iman, akidah dan jihad. Maka Abu Darda’ memutuskan untuk menggunakan segenap fikiran, jiwa dan umurnya demi perniagaan di jalan Allah.

Abu Darda’ tidak meninggalkan kehidupan duniawi sama sekali, tapi ia juga tidak melalaikan ibadah. Ia mampu menggabungkan antara perdagangan duniawi dengan ibadah. Antara dunia dengan akhirat. Antara muamalah yang benar dengan sesama manusia dan hubungan yang benar kepada Allah. Antara mengambil bahagian dari kehidupannya di dunia dengan bahagian kehidupannya di akhirat.

Ia menganggap bahawa berzikir kepada Allah, takwa, dan ibadah kepada-Nya itu lebih berharga daripada segala sesuatu yang di bumi baik yang berupa harta mahupun kesenangan lainnya. Tingkat takwa dan waraknya mencapai peringkat orang-orang yang suci lagi soleh. Kadang kala ia duduk berdiam diri. Apabila seseorang bertanya: “Untuk apa berdiam diri, hai Abu Darda’?” Jawabnya: “Berfikir satu saat itu lebih baik daripada ibadah sepanjang malam.” Ertinya Abu Darda’ yang ahli ibadah dan hidup zuhud ini sedang memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, memperhatikan keindahan ciptaan Allah.

Ia tidak mencari harta kecuali sekadar mencukupi keperluan makan dan pakaian keluarganya secara sederhana. Seringkali ia menyampaikan ideanya kepada para sahabatnya. Ia berkata: “Mahukah engkau aku beritahukan sebaik-baik perbuatan yang paling suci di sisi Tuhan, yang boleh mengangkat darjat lebih tinggi daripada engkau memerangi musuh dan yang lebih baik dari banyaknya dirham dan harta? Itulah zikir kepada Allah. Sungguh zikir kepada Allah adalah amalan yang paling besar.”

Bagi Abu Darda’, zikir kepada Allah merupakan amalan yang paling utama dibanding yang lain. Manisnya iman telah menguasai segenap perasaan dan memenuhi hatinya. Baginya dunia ini hanya perkara kecil dan segala yang ada di dalamnya berupa kesenangan tidak boleh disamakan dengan nikmatnya ber-taqarrub kepada Allah meskipun sejenak.
Abu Darda’ menggambarkan kesenangan duniawi yang bakal punah ini dalam salah satu surat yang ia kirimkan kepada salah seorang sahabatnya.

Ia berkata: “Adapun setelah itu, tidak ada ertinya bagi orang yang bermegah dengan kehidupan duniawi. Harta itu telah beredar pada orang lain sebelummu, lalu kepada orang lain sesudahmu. Engkau tidak memilikinya kecuali apa yang sedang engkau hadapi. Selanjutnya bagi orang yang mengumpulkan harta agar dapat diwariskan kepada anakmu, maka sebenarnya engkau mengumpulkan harta itu untuk dua kemungkinan. Mungkin untuk anak soleh yang beramal di jalan ketaatan kepada Allah lalu berbahagia dengan pemberianmu, atau untuk anak derhaka yang beramal di jalan kemaksiatan. Maka sia-sialah harta yang engkau kumpulkan itu, kerananya percayalah bahawa Allah akan memberi rezeki kepada mereka dan selamatkanlah dirimu.”

Begitulah pandangan Abu Darda’ terhadap harta benda. Ia menasihati sahabatnya agar tidak hanya sibuk mengumpulkan harta benda dan perhatian yang hanya mengarah pada masalah itu. Sebab apa yang ia kumpulkan dan dihitung-hitung itu akan ditinggalkan, mungkin kepada anak yang soleh, sehingga boleh dinikmati, mungkin pula pada anak derhaka, sehingga dibelanjakan di jalan yang dimurkai Allah. Manusia seharusnya berusaha dan berjuang di muka bumi ini tanpa melalaikan ibadah dan merenungkan keindahan ciptaan Allah.

Di samping Abu Darda’ meninggalkan kemewahan duniawi, tidak mengambilnya kecuali sekadar mengisi perutnya, ia juga menolak puterinya bermegah-megah dengan harta kekayaan di dunia ini. Kehidupan zuhud yang ia tempuh sejak masuk Islam telah terbiasa bagi keluarganya. Ia menolak jika hatinya dipengaruhi oleh kesenangan duniawi, seperti halnya ia menolak jika hal itu terjadi pada puterinya.

Maka ketika Yazid Ibn Muawiyah yang banyak harta dan berkuasa, melamarnya. Abu Darda’ yang hidup zuhud dan miskin menolak mengahwinkan puterinya dengan Yazid, si kaya yang berkuasa. Mengapa? Sebab ia tidak ingin puterinya sibuk dengan urusan duniawi jika nantinya ia tinggal di istana Bani Umaiyah. Ia menghendaki puterinya seperti dirinya sendiri yang takwa, wara’, penuh iman dan akidah.

Sebahagian sahabatnya bertanya, “Kenapa puterimu tidak engkau kahwinkan dengan Yazid?” Jawabnya: “Bagaimana pendapatmu nanti kepadaku’, jika puteriku kelak hidup di istana, dilayani oleh dayang-dayang dan perhiasan istana, lalu pada saat itu cinta pada agamanya menjadi lenyap?”

Pada saat pemuda dari kalangan kaum miskin datang kepadanya, meminang puterinya, tanpa ragu-ragu lagi Abu Darda’ menerimanya untuk dikahwinkan. Sebab jalan lurus yang ia tempuh tidak menghendaki puterinya melangkah ke jalan yang salah. Dengan cara hidup lurus seperti zuhud, hidup sederhana dan meninggalkan kesenangan duniawi itulah Abu Darda’ hidup. Seorang yang sejak masuk Islamnya telah meninggalkan perniagaan atau jual beli yang boleh melalaikannya dari berzikir kepada Allah.

Suatu hari para sahabatnya mendengar ia berdoa dengan hikmat: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hati yang selalu berangan-angan kepada kehidupan duniawi.”

Abu Darda’ tidak menghendaki sama sekali terhadap kesenangan duniawi dan kehidupan mewah. Hal ini nampak ketika Utsman Ibn Affan menunjuknya menjadi hakim di Syam dengan maksud mengalihkan perhatian masyarakat Islam dari cinta dunia kepada cinta akhirat. Utsman Ibn Affan melihat bahawa masyarakat Islam tersebut mulai tenggelam dalam kemewahan dan jatuh dalam kemegahan.

Kerananya Abu Darda’ mengundang penduduk Syam untuk berkumpul di masjid seraya berucap:
“Hai penduduk Syam, engkau sekalian adalah saudara seagama bagi kami. Tetangga dengan rumah kami dan telah menolong dari serangan musuh. Namun aku lihat engkau suka mengumpulkan harta, membangun sesuatu yang tidak boleh tetap dan mengangan-angankan sesuatu yang tidak mungkin tercapai. Orang-orang sebelum engkau mengumpulkan harta yang bakal mereka tinggalkan, berangan yang bukan-bukan dan membangun rumah-rumah yang tinggi, lalu yang mereka kumpulkan itu menjadi binasa. Angan-angannya kosong belaka dan rumah-rumahnya menjadi perkuburan. Itulah kaum Ad. Mereka memenuhi tempat antara Ad sampai Yaman dengan banyaknya harta dan anak. Adakah orang yang akan membeli peninggalan keluarga Ad seharga 2 dirham dariku?”

Abu Darda’ menghendaki agar kaum muslimin memancarkan jiwa hidup sederhana dan zuhud, sehingga gemerlapnya dunia tidak sampai menipunya lalu meninggalkan beribadah kepada Allah.

Di samping Abu Darda’ memiliki hati yang memancarkan makna ibadah, fikirannya juga memancarkan makna ilmu. Ia memahami ajaran agama Islam, selalu mencari kebenaran, berusaha mencapai hakikat dan tiap hari makin bertambah pemahamannya terhadap Al-Quran dan sunah Rasul-Nya. Dalam hal ini ia berkata: “Engkau tidak boleh menjadi takwa sebelum berilmu. Sedang ilmu itu tidak sempurna tanpa amal.”

Abu Darda’, si alim yang mengamalkan ilmunya, si zahid dan tekun beribadah kepada Allah itu sepanjang hidupnya berjalan di jalan Allah, sampai riwayatnya berakhir di tanah Mesir. Tubuhnya bersemayam di suatu makam di kota Iskandariah setelah Allah menempatkan posisinya dalam kelompok orang-orang yang soleh.

^ Kembali ke atas ^


Blogspot Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Bands. Powered by Blogger